Najwa merupakan puteri ke-2 Quraisy Shihab, Menteri Agama Kabinet Pembangunan VII. Nana menikah dgn Ibrahim Assegaf, & udah mempunyai satu orang anak cowok yg akrab dipanggil Izzat
Najwa Shihab lulus dari Fakultas Hukum UI th 2000. Waktu duduk dibangku SMA beliau terpilih mengikuti acara AFS, yg diselenggarakan oleh Yayasan Bina Antarbudaya, sewaktu satu thn di Amerika Serikat.
Najwa memulai karirnya sebgai jurnalis bersama bekerja di RCTI. Th 2001 beliau memilih pindah ke Metro Televisi sebab stasiun Televisi itu dinilai lebih memenuhi ketertarikan besar nya pada dunia jurnalistik.
Pada June 2012, Najwa hampir mendapat sanksi berat dari perusahaannya sesudah namanya dicatut bersama diklaim beri dukungan pasangan Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama. Putri kandung dari cendekiawan muslim, Quraish Shihab itu seterusnya menggugat pasangan calon gubernur & wakil gubernur DKI itu.
Najwa Shihab terperanjat nama serta “testimoni”-nya tiba-tiba muncul dalam dalam web resmi Jokowi-Basuki. “Najwa sbg pribadi serta dari Metro Televisi selanjutnya melayangkan surat keberatan pada pihak Eep Saefullah Fatah selaku konsultan politik pemenangan Jokowi-Basuki terhadap Jumat (25/5/2014).
Sbg jurnalis, Najwa Shihab sukses mendapatkan penghargaan Asian Television Awards (ATA) 2011 juga sebagai juara ke-2 atau Highly Commended utk tipe Best Current Affairs Presenter dalam program Mata Najwa di Metro Televisi. Pada Awal Mulanya terhadap th 2009 beliau pula jadi jagoan ke-2 & kepada th 2007 jadi pemenang ke3.
Najwa tertulis juga sebagai jurnalis yg mula-mula mewawancarai Presiden SBY, nggak lama sesudah pelantikan. Tatkala karirnya Najwa udah mewawancari tidak sedikit tokoh politk nasional. diluar itu, Najwa pula sempat mewawancarai tokoh manca negeri diantaranya mantan Deputi Mula-mula Menteri Malaysia Anwar Ibrahim. Itulah tadi Profil singkat dari Najwa Shihab, sekarang kita langsung simak aja kumpulan Kata Mutiara nya berikut ini.
Para Nomer Dua
Mereka yang menjadi wakil, layak dapat porsi yang adil.
Tapi penting untuk tahu diri dan saling mengerti posisi.
Wakil itu orang kedua, jangan minta jadi yang utama.
Pelimpahan tugas dan peran yang pas, jadi pertaruhan duet kepemimpinan.
Pemimpin yang enggan berbagi, sama saja ingin menang sendiri.
Bila egoisme tak diakhiri, pasti ditutup dengan pecah kongsi.
Jika pemimpin tidak harmonis, rakyat juga yang akan teriris.
Blak-blakan dengan Risma
Tri Rismaharini adalah yang sedikit walikota pekerja berorientasi publik.
Tentu kebijakannya tak bebas cela, ada yang tak puas & tak menyukainya.
Tapi lihatlah kini Kota Surabaya, mungkin pikiran bebas kita bisa terbuka.
Risma melakukan hal yang benar, menjaga kota dari dominannya logika pasar.
Apa yang disebut kepentingan warga, gamblang menjadi pusat perhatiannya.
Dia tahu faedah blusukan, langsung ke warga untuk mengerti persoalan.
Kini Risma bersuara lelah, kedaulatannya sebagai walikota dibuat goyah.
Politik menggerogoti kepemimpinannya, ihwal mundur berada dibenaknya.
Jika kuasa berarti pengabdian, sudah selayaknya Risma tetap bertahan.
Habibie Hari Ini
Habibie membawa mimpi, anak bangsa yang mampu berdikari.
Teknokrat lain sempat mencaci, jika bisa impor mengapa harus bikin sendiri.
Meski lama bersekolah di luar negeri, dia pulang untuk membangun kembali.
Panutan perihal pendidikan, juga dalam hal pengabdian.
Sebagai pemimpin dia memberi visi, industri strategis harus dikelola sendiri.
Di tangan Habibie Indonesia seperti bernyali, siap mencuat dan berkompetisi.
Sebagai ayah & suami dia menyentuh hati, meriwayatkan cinta & kasih kinasih abadi.
Tak bisa dipungkiri Habibie meniupkan ruh demokrasi, di era reformasi yang penuh caci-maki.
Apa Kata Mega
Megawati adalah lembar yang tak terbuka, dikelilingi diam & hemat kata.
Semakin keputusannya dinanti, semakin akhir kata terang biasanya didapati.
Orang-orang belajar dari sikapnya, lebih banyak dari perkataan & retorikanya.
Cukup lama dia geming membatu, menyindir kekuasaan yang penuh ragu.
Visinya tak selalu mudah dimengerti, gagasannya lebur di dalam aksi partai.
Megawati hidup di era politik kesaksian, bukan pengumbar jurus pencitraan.
Di kala partai ramai-ramai berkoalisi, Megawati sedikit dari yang tak terbeli.
Kini keputusan Megawati dinanti, apakah maju kembali atau mengucap permisi.
Penebar Inspirasi
Dari mana datangnya inspirasi, dari visi turun ke kerja keras tanpa henti.
Tak sedikit orang yang bervisi, tapi segelintir yang mampu menggerakkan banyak pribadi.
Tiap orang bisa punya mimpi, tapi tak semua bisa bangkitkan semangat tinggi.
Hanya bekerja keras sendirian,akan mudah lumpuh oleh berbagai kesulitan.
Kepemimpinan bukan perkara jabatan, tapi soal menjawab persoalan, seraya aktif menebarkan harapan.
Inspirasi menjadi kunci, agar semua mau berpartisipasi.
Bahu-membahu perbaiki negeri, bersama-sama mengabdi tanpa henti.
Poles Politis
Para kandidat yang ingin instan, banyak bergantung pada para konsultan.
Mereka yang halalkan segala cara, tak malu merekayasa angka-angka.
Atas nama metodologi, survei pesanan dipublikasi seperti murni.
Masyarakat coba dipikat, dengan pencitraan palsu yang merakyat.
Politik akhirnya semata soal kemasan, yang dipajang untuk dijualbelikan.
Promosi wajah & nama, terjaja tanpa kekuatan isi kepala.
Kampanye berubah menjadi unjuk harta, rakyat dikerdilkan sebatas suara.
llmu politik ilmu utak-atik, para konsultan menjadi juru taktik.
Jika semua sibuk memburu kemenangan, demokrasi tak lebih sekedar barang dagangan.
Komandan Koboi
Pemimpin jangan cuma reaktif, tapi wajib punya inisiatif.
Mereka yang reaksioner, sulit jadi pemimpin yang visioner.
Keberanian jadi syarat mutlak, untuk membongkar sistem yang rusak.
Peraturan harus ditegakkan, tapi pakem lama haram dilanggengkan.
Terobosan-terobosan yang baru, wajib diambil seorang pembaharu.
Karena kita harus berlari cepat, sebelum semuanya jadi terlambat.
Sudah tidak lagi ada tempat, untuk penguasa bermental raja.
Republik ini butuh komandan, yang siap mendobrak keadaan.
Kontroversi Lokalisasi
Bisnis prostitusi selalu jadi kontroversi, dilokalisasi atau ditutup mati.
Ada pelacuran yang dihapuskan, ada yang dibiarkan dengan pengaturan.
Pelacuran bisa dilihat berbeda-beda, masalah agama atau sosial semata.
Keduanya punya pembenaran, atas nama moral atau alasan pengawasan.
Mencaci lokalisasi sebagai laku kebejatan, berempati atas alasan keadilan.
Urusan menjaga moral publik, berhadapan kepentingan bertahan hidup.
Prostitusi bukan hanya soal dosa, tapi soal keadilan nafkah yang tak merata.
Lokalisasi tak mati karena ditutup, malah tumpah di jal
Tidak cukup hanya penutupan, perlu solusi lain dan pembinaan.
Menegakkan moralitas agama, seraya mewujudkan keadilan hidup bersama.
Perisai Antikorupsi
Jika para pejabat tak bisa disuap, Indonesia masih bisa berharap.
Mereka yang hidupnya bersih, pasti tak takut jadi orang yang tersisih.
Harta dan penghasilan pribadi, mereka publikasi tanpa ditutup-tutupi.
Dengan jurus transparansi, mereka hadang gerak-gerik para pencuri.
Jika atasan berani buka-bukaan, anak buah akan sulit selewengkan jabatan.
Kita rindu pejabat penuh tauladan, yang memimpin bukan demi kekayaan.
Di pundak pemimpin yang bebas korupsi, di situlah masa depan negeri.
Trias Koruptika
Satu demi satu lembaga amanah reformasi, ditundukkan rayuan korupsi.
Publik seperti dipaksa putus asa, hari-hari pejabat negara masuk penjara.
MK yang begitu dipercaya, dalam sekejap dihancurkan hakim ketua.
Kita lantas segera sangsi, bagaimana sebenarnya para hakim itu diseleksi.
Menjadi pejabat publik bukan ajang bergaya, sekadar bagi-bagi jatah trias politika.
Semua lini sudah tercemar korupsi, berkeliaran di tubuh birokrasi, rapat-rapat politisi, ruang pengadilan konsitutisi.
Kita harus mengambil pelajaran inti, dari sekadar potong jari dan hukuman mati.
Bagaimana caranya membentengi negeri, dari pejabat rakus yang tak punya harga diri.
Ambisi Memimpin Negeri
Mari serius bertanya, sudahkah pejabat publik menjaga amanah.
Ketika mereka ikut konvensi, urusan publik siapa mengurusi?
Ambisi politik tentu wajar saja, selama pandai menginsyafi batasan etika.
Mungkin ini panggilan presiden, tapi konflik kepentingan harus diperhatikan.
Rakyat senang orang pintar berpolitik, apalagi yang bijak menjaga etika publik.
Jabatan sudah di depan mata, gunakanlah atau segera putuskanlah.
Abdi negara mengurus rakyat, itulah hajat hidup utama seorang pejabat.
Kematian memang rahasia Tuhan.
Tapi kejahatan kemanusiaan, tak boleh dibiarkan.
Banyak kasus terpendam, berakhir pada si kambing hitam.
Sedang para pelaku utama, tetap nyaman di singgasana.
Gelapnya misteri kejahatan bisa dibongkar ilmu pengetahuan.
Forensik dapat menjelaskan yang buram, mengangkat bukti-bukti yang karam.
Kasus misterius dibuka dengan data, mengusik mereka yang berdosa.
Membuka jalan agar keadilan tak kandas, asalkan hukum tak dipangkas.
Mafia Perkara
"Negeri ini akan ambruk, jika peradilan & hukum terus bangkrut.
Kebenaran & kepastian mengapung, di antara uang & kuasa yang mengepung.
Para pencari keadilan terpojok, oleh peradilan dan hakim yang jorok.
Pengacara sebatas calo perkara. Pegawai tata usaha merangkap perantara.
Putusan hakim bisa menjadi komoditi, diserahkan kepada penawar tertinggi.
Percuma berharap pejabat bersih, jika profesi dilakoni tanpa harga diri.
Hukum yang dibiayai transaksi suap, membuat wajah peradilan begitu gelap.
Razia Liar
Setiap kekerasan bersentimen agama, selalu ada hukum yang lemah.
Ketika hukum tunduk tak berdaya, oleh transaksi dan tekanan kuasa.
Aparat yang tak dipercaya, memicu ganasnya amuk massa.
Lantaran hukum mudah terbeli, membuat siapa saja bisa jadi polisi.
Atas nama kehormatan, kekerasan dianggap wajar, razia swasta dilegalkan.
Negara tidak boleh lebih lemah, dari para pengancam yang menjual dogma.
Simbol dan panji agama pantang tergadai, terlebih di kemuliaan bulan suci.
Ramadan jelas harus dihormati, terutama oleh laku kita sendiri.
Tentang Soekarno
Soekarno sosok gegap-gempita, presiden yang tak lekang oleh masa.
Dia adalah jendela Indonesia, menyatu dengan nasib bangsa-bangsa terjajah.
Dalam usia begitu muda, bersama Hatta mengobarkan kehendak merdeka.
Diplomasinya begitu berkelas, dia & Indonesia seperti satu tarikan nafas.
Sang ideolog dalam wujud nyata, pemikir dalam sikap otentik yang terjaga.
Terlahir dengan selera mendunia, pengagum wanita tanpa pura-pura.
Dalam politik yang terlahir durhaka, Bung Karno mati sebagai tahanan kota.
Begitu mudah dicintai rakyatnya, dalam kebenaran & kontroversi hidupnya.
Kontroversi Toleransi
Kekerasan semakin berjaya, di hadapan negara yang tak berdaya.
Politik identitas mengeras, perbedaan ditingkahi dengan fatwa sesat.
Ketegangan agama & negara, membutuhkan pemimpin berwibawa.
Negarawan yang taat konstitusi, bukan menyerah pada selera politisi.
Bijak mengelola perbedaan, dalam kerukunan dan bukan permusuhan.
Indonesia menjadi mengerikan, saat kaum intoleran terus dibiarkan.
Seorang penjaga toleransi, mendahulukan rekonsiliasi dari relokasi.
Toleransi tidak tegak karena penghargaan, melainkan tegasnya tindakan.
Penjara Istimewa
Wajah penjara cermin hukum negara, sungguh-sungguh atau pura-pura.
Penjara semestinya nestapa dunia, bukan sebisanya menjadi surga.
Koruptor harusnya menyesal & sadar, bukan malah kembali melanggar.
Hukum yang memuat harga, mengubah lapas jadi persinggahan mewah.
Koruptor menjadi napi, menyulap fasilitas bui hanya soal transaksi.
Ikhtiar serius untuk membenahi, tentu perlu diapresiasi.
Tidak mungkin satu Wakil Menteri, bekerja seorang diri.
Sistem yang mudah terbeli, tak akan berubah hanya dengan rajin inspeksi.
Buat apa memberantas korupsi, jika bui sejati hanya untuk kelas teri.
Klenik Politik
Kisah politik & kuasa, tak pernah lepas dari dukun dan dupa.
Semakin instan hidup bergerak, semakin marak dukun bertindak.
Fenomena klenik menguat, seturut egoisme politik yang mencuat.
Dunia santet dirambah, untuk sejengkal kuasa yang durhaka.
Jabatan menjadi berhala, ketika penguasa lebih sayang dukunnya.
Kekuasaan menjadi permainan, saat takhayul dilembagakan.
Obsesi jabatan yang kekal, mendekatkan penguasa ke paranormal.
Nasib rakyat sering terlupa, sebab kepada dukun mereka percaya.
Tumbal Demokrasi
Demokrasi tanpa para demokrat, membuat kuasa miskin legitimasi rakyat.
Pemilukada jadi urusan pecah-belah, ketika politik hanya soal menang-kalah.
Yang menang berlaku curang, yang kalah tak mau menerima kenyataan.
Kekerasan terpilih sebagai cara, hukum dilecehkan amuk massa.
Elit berlaku bak raja, warga berposisi bagai hamba kawula.
Hak politik diubah seperti hadiah, kewajiban dibuat sebentuk kebaikan.
Pemilih disiapkan menjadi tameng massa, membela elit yang bersengketa.
Ketika konflik berdarah kerap berulang, itu berarti kita hidup di negara yang bebal.
Negeri Pungli
Di Indonesia sudah menjadi biasa, melihat warga terlunta-lunta.
Layanan publik dibisniskan, urusan warga jadi dagangan.
Orang miskin jadi korban, lantaran dianggap hanya diam.
Pelayanan jadi sapi perah, kewajiban terlacur menjadi hadiah.
Kesadaran publik lama absen, saat warga dimaknai sebagai konsumen.
Birokrasi menjadi pemangsa, seiring lenyapnya daulat warga.
Pejabat publik tutup mata, uang haram tak lagi berdosa.
Sekeras itu hukum dibuat, sepandai itu pula praktek muslihat.
Hukum yang ditegakkan dengan retorika, hanya jadi bahan tertawa belaka.
Dari Jogja untuk Bangsa
Jika memang benar Jogja itu istimewa, dari sini mestinya muncul generasi pemimpin berikutnya.
Jogja adalah saksi mata, jutaan sarjana yang diwisuda.
Banyak yang sukses dan kaya raya, juga yang merasa siap memimpin bangsa.
Pendidikan memang membuka banyak kesempatan, tapi pendidikan tak otomatis lahirkan kepemimpinan.
Pemimpin tak lahir karena ijazah, tapi oleh kerja keras dan kepedulian yang terus diasah.
Apa arti ijazah yang bertumpuk, jika kepedulian dan kepekaan tidak ikut dipupuk?
Apa gunanya sekolah tinggi-tinggi, jika hanya perkaya diri sendiri dan famili?
Bagaimana akan bersikap anti-korupsi, jika sejak muda hanya sibuk dengan urusan sendiri?
Tak ada yang tiba-tiba bagi calon pemimpin bangsa, kecakapan bukan salinan genetika.
Inspirasi datang dari hidup yang tahan uji, pemimpin muncul dari tempaan yang tiada henti.
Selebriti pengganda Simpati
Tengoklah demokrasi kita, ketika selebriti tampil mendongkrak suara.
Terseret musim kampanye politik, karena alasan ideal atau sekadar taktik.
Mereka berani mengambil posisi, bahkan berlaku bak politisi.
Bersikap gamblang dan berbicara lantang, karena percaya pada sang penantang.
Tak ragu mendemonstrasikan pilihan, walau berisiko ditinggal penggemar.
Ketenaran memang bisa menggugah, meyakinkan pemilih lewat lagu dan sabda.
Pesohor menjadi digdaya, asal tidak mengandalkan tembang hits semata.
Mereka datang memberi tanda, memacu efek latah dukungan suara.
Mengganda simpati untuk politisi, sebagai cara mengubah situasi negeri.
Mengajak peduli urusan negara dan apa yang pen ting bagi warga.
Mencari RI 2
200 juta lebih rakyat Indonesia, tak bisa diurus secara ala kadarnya.
Dia yang akan memimpin negeri, harus punya partner yang bisa melengkapi.
RI-2 bukan sekadar pembantu RI-1, jadi wapres mutlak harus orang bermutu.
Karakter boleh saling berbeda, tapi visi jelas harus sama.
RI satu dan dua pasti hasil koalisi, tapi jangan berhenti sekadar bagi-bagi posisi.
Jumlah kursi pasti menentukan, tapi koalisi tak bisa abaikan kekompakan.
Sebab koalisi mestinya didayagunakan, untuk mengawal dan menjaga kebijakan.
Apalah arti pasangan yang populis, jika di tengah jalan saling mengiris.
Karena menang pilpres hanya kerja pertama, memperbaiki negerilah yang jadi tugas utama.
Istana punya Cerita
Istana menjadi saksi, rezim yang datang silih berganti.
Di atas singgasana kekuasaan, nasib jutaan rakyat ditentukan.
Semua staf siap kerja kapan saja, melayani kebutuhan yang berkuasa.
Semua biaya ditanggung Negara, supaya presiden bisa fokus bekerja.
Kenyamanan dan keamanan jadi nomer satu, agar semua kebijakan bisa bermutu.
Kasak kusuk tak terhindarkan, bisik-bisik berseliweran, bumbu di balik pengambilan kebijakan.
Ada lobi-lobi berbagai kepentingan, ada juga cerita haru penuh kemanusiaan.
Tapi istana negara, jelas bukan tempat berleha-leha.
Sebab rakyat yang beri kuasa, rakyat juga yang membayar bea.
Karena presiden memang bukan raja dan istana bukanlah pesanggrahan keluarga.
Menatap yang Menata
Kepemimpinan yang gigih bekerja, niscaya hasilkan perubahan yang kasat mata.
Mengentaskan persoalan dengan nyata, bukan sekadar bumbu retorika.
Menata kota, membangun desa, agar rakyatnya sejahtera.
Membuka pintu komunikasi, siapa pun bisa langsung berkonsultasi.
Inilah kepemimpinan yang tak berjarak, sehingga manunggal dengan rakyat.
Berkarya untuk kebutuhan warga, bukan memperkaya keluarga.
Menghadapi persoalan rakyat kecil, dengan hasil yang riil, lewat kerja-kerja yang detil.
Rajin blusukan setiap hari, walau nyaris tanpa publikasi.
Mereka menumbuhan harapan, bahwa Indonesia masih punya masa depan.
Rapor Wakil Rakyat
Tuan-Puan datang ke Senayan, jelas bukan tanpa pertanggungjawaban.
Kami menjadi mata, telinga dan rasa, tentang apa yang kalian cipta & bela.
Mari memulai dengan pujian, bagi sedikit anggota dewan yang tulus berjuang.
Membela gigih kepentingan publik, dari dominasi pasar yang membelit.
Tapi mohon Tuan-Puan sejenak diam, dengarkan suara menggugat & menghujam.
Absensi Tuan-Puan terbilang rendah, entah sibuk urusan apa & untuk siapa?
Fungsi & target perundangan tak tercapai, hanya 10 persen legislasi yang tunai.
Produk undang-undang suka banyak titipan, sering teruji di MK karena bermasalah.
Terdengar ganasnya mafia anggaran, membuat uang rakyat jadi bahan bancakan.
Jika bahasa Tuan-Puan garang meradang, seringkali itu hanya untuk tawar-menawar.
Semakin tinggi Tuan-Puan punya gaji, semakin gencar saja nafsu korupsi.
Jadi maaf, jika rakyat ingin bertanya: Tuan dan puan mewakili siapa?
Semoga postingan yang kali ini saya bagikan dapat menginspirasi sahabat dan bermanfaat.